Sabtu, 17 Desember 2011

Pemilihan Kepala Daerah dan Implikasi Pada Pemerintahan Lokal



A.    Latar Belakang
            Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki sebuah gerbang menuju Demokrasi yang lebih baik.  Berbagai usaha dilakukan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah memiliki sesuatu yang beda, Indonesia yang sangat demokratis. Hal – hal yang bersifat dahulunya  sentralistis sekarang diubah menjadi desentralisasi yang lebih luas. Maka dilahirkanlah UU no  22 tahun 2009. Berdasarkan UU ini, Kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD, pemerintah pusat tidak memiliki hak dan kewenangan untuk ikut campur tangan. Begitu pasangan calon mendapatkan suara terbanyak, maka secara otomatis merekalah yang terpilih menjadi gubernur, bupati, atau walikota. Akan tetapi sistem ini memiliki permasalahan. Masalahnya gubernur merangkap dua jabatan (dual role) sebagai pejabat desentralisasi dan dekonsentrasi. Sementara jabatan bupati atau walikota semata-mata dalam rangka desentralisasi. Akibatnya pamor gubernur redup di mata bupati dan walikota, karena mereka menganggap bukan bawahan gubernur dan sama-sama dipilih langsung oleh DPRD.
            Bangsa Indonesia terus melakukan perbaikan terhadap sistem demokrasi. Pada masa pemerintahan Megawati dilahirkanlah UU no 32 th 2004. Salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing. Dalam UU ini, Pilkada belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada 1 Juni 2005 Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Mengapa pilkada langsung perlu dilaksanakan di Indonesia menurut salah satu pakar yang terlibat dalam penggodogan konsep pilkada langsung dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah karena alasan ‘kompatibilitas” atau kesesuaian dengan pilpres langsung. Maksud sumber tersebut, kalau presidennya dipilih melalui pilpres langsung, maka gubernur, bupati dan walikota juga harus dipilih secara langsung. Alasan lainnya adalah karena buruknya praktek-praktek pemilihan kepala daerah secara perwakilan melalui DPRD di masa Soeharto.
B.     Pembahasan

1.       Hasil yang ingin dicapai dari Pilkadal
Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan salah satu pilar utama demokrasi guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal. Tidak ada lagi intervensi – intervensi yang nantinya akan merusak tatanan kehidupan masyarakat, memberikan ruang partisipasi politik yang besar dalam menentukan arah pembangunan politik tanpa tergantung pada kekuasaan politik oligarkis oleh elit partai politik yang direpresentasikan oleh anggota-anggota legislatif. Menempatkan  rakyat sebagai The king of maker. Hak rakyat akan terpenuhi, suara mereka akan didengarkan dan diakui. Melalui pilkada diharapkan muncul pemimpin eksekutif yang mewakili preferensi mayoritas masyarakat lokal. Pilkada akan menyebabkan rakyat lebih mengenal siapa calon pemimpinnya. Rakyat memiliki hak untuk menetukan siapa dan akan dibawa kemana pemerintahan yang akan dijalankan. Pilkada diharapkan mampu menghasilkan outcome berupa reformasi kultur yang akan mengimbangi proses transisi kepemimpinan.
2.      Sisi Negatif Pilkada dan Potensi Terjadinya Konflik
            Ternyata Pilkada tidak berjalan mulus dan membawa hasil yang sesuai dengan harapan masyarakat. Banyak hal – hal negatif yang terjadi yang tidak menutup kemungkinan untuk memicu terjadinya konflik.
2.1 Besarnya biaya penyelenggaraan
Sumber dana menurut PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 147 bahwa "Pendanaan Pilkada berasal dari APBN dan APBD". Tidak dimungkiri, pilkada yang dimulai sejak tahun 2005, menjadi proyek demokrasi yang menyedot biaya yang amat besar. Dalam Pilkada langsung tahun 2005 hingga tahun 2008, Jumlah uang negara yang dihabiskan untuk pilkada langsung saat itu adalah sekitar enam triliun rupiah. Hal ini untuk berbagai keperluan seperti logistik, rekapitulasi daftar pemilih tetap, dana kampanye untuk masing – masing calon dll. Seandainya dana sebesar itu dapat dialihkan kesektor lain yang jauh lebih membutuhkan.
Belum lagi jika terdapat pemilukada yang diulang oleh karena ketidakpuasan hasil oleh kandidat calon kepala daerah yang berkompetisi tersebut. Sebagai contoh yang terjadi di Provinsi Riau beberapa waktu lalu sebagai berikut ;

Pilkada Pekanbaru Diulang, Tim PAS Mulai Konsolidasi

Selasa, 28 Juni 2011 16:44
Terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta Pemilukada Pekanbaru diulang, kandidat walikota Pekanbaru, Firdaus MT kepada Riauterkini Senin (28/6/11) mengatakan bahwa dengan adanya keputusan tersebut, tidak membuat dirinya patah semangat. Justru menjadi pemicu kepada dirinya untuk kembali bangkit guna menggalang suara kembali.

"Kita sekarang sedang menggalang kembali suara kita untuk menghadapi pilkada ulang. Tim kita sudah mulai bergerak kembali di berbagai lini," terangnya.

Nemun, informasi yang dihimpun Riauterkini menyebutkan bahwa setelah bertarung 'habis-habisan' pada pilkada beberapa waktu lalu, nampaknya tim PAS tengah kepayahan dengan pendanaan. Pasalnya, sumber Berita2.com menyebutkan bahwa aset Firdaus MT kini yang tersisa hanya tinggal investasi yang diperuntukkan bagi pendidikan anaknya.

Itu sebabnya, muncullah gerakan di kalangan masyarakat yaitu 'koin untuk Pirdaus-Ayat' dan gerakan serupa di kalangan pengusaha dan menengah ke atas yaitu 'seratus ribu untuk Firdaus-Ayat'. (afhan
)
2.2  Politisasi Birokrasi
            Liberalisasi politik telah mendorong konsistensi politik antar elite yang berimplikasi pada netralitas birokrasi. Para elit politik melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Profesionalisme PNS kembali terusik. PNS yang seharusnya bekerja pada prinsip - prinsip netralitas untuk melayani masyarakat, berubah menjadi mesin politik yang digunakan untuk memobilisasi dukungan dan perolehan suara dalam pemilihan kepala daerah, terutama bagi incumbent (calon yang sedang menjabat) tidak jarang fasilitas negara digunakan dan pelibatan penjabat negara dalam kampanye. 
 Kondisi dan situasi politik yang dihadapi PNS telah menciptakan dilema netralitas. Dalam menetukan posisi strategis dalam birokrasi, tidak jarang terjadi politik dagang sapi diterapkan. Kepala daerah terpilih mengangkat mereka yang dianggap loyal dan banyak membantu dalam pilkada ( tim sukses ). Sehingga mereka yang diangkat bukanlah berdasarkan kelayakan dan kepatutan. Hal ini yang akan membuat fragmentasi birokrasi  terus berlanjut.
Mengingat bahwa netralitas birokrasi sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu yang terkait dalam pemerintahan, bahwasanya hal itu sangat sulit ditemukan. Terlebih dominasi pengaruh politik yang kuat dari petinggi-petinggi mereka. Sebagai contoh terdapat pemindahan dan pemecatan PNS yang dilakukan pasca terpilihanya kepala daerah. Hal itu sudah lumrah adanya terjadi pada setiap daerah, sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan kota jambi melalui data sebagai berikut :
Dilakukanya perombakan beberapa pejabat yang memiliki posisi tertinggi di masing-masing instansi. Dimulai dengan pemecatan sejumlah camat di dalam ruang lingkup kota jambi, yang merupakan dilakukan dalam seratus hari pasca terpilihnya beliau. Adapun camat-camat yang merasa dirugikan dan di untungkan tersebut adalah :
1.      Camat Kota Baru, Mukhlis A Muis menggantikan Duria Sunita,
2.      Camat Pasar Jambi Safrizal Badar menggantikan Robinson,
3.      Camat Jambi Timur M Nasir menggantikan Azhari.
4.      Camat Telanai Pura Zainuddin menggantikan H. Zakaria,
5.      Camat Jambi Selatan Tazuddin menggantikan Sabriyanto,
6.      Camat Jelutung Efendi menggantikan Rekan Budiman,
7.      Camat Pelayangan Abdullah menggantikan M. Mawawi, dan
8.      Camat Danau Teluk Hj. Rts Maryani menggantikan M. Hefni

Setalah itu memberhentikan 27 kepala sekolah dalam Kota Jambi. Namun penggantian kepala sekolah itu batal karena berbuntut aksi siswa sekolah dan pihak kepala sekolah itu sendiri.
Kemudian mengangkat dua pejabat eselon II di lingkungan Pemerintahan Kota Jambi tanpa melalui persetujuan Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin. Partai Koalisi (PAN, PPP, PKB, PKPB dan PBB) menuding dr Bambang Priyanto melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan sikap sewenang-wenang yang di sertai dengan nepotisme karena telah mengangkat dan memecat beberapa pejabat eselon II dilingkungan Jambi, tanpa prosedural, yakni :
·         Drs Ec Marjani sebagai Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Jambi
·         M Sitanggang sebagai Staf Ahli Walikota Jambi Bidang Pembangunan,
·         M Ichsan,
·         Syihabuddin,
·         Jumisar,
·         Zulkifli Yus,
·         Hafni Ilyas
·         Jaharudin, dan
Selain itu terdapat juga tindakan yang sangat mencoreng nama sang walikota. Karena terdapat beberapa pihak yang dirugikan atu dipecat dengan alasan yang kurang tepat, sebagai berikut :
·         Memecat Ir Sidiq Yulianto yang notabene baru 1,5 tahun menjabat sebagai kepala dinas Pekerjaan Umum Kota Jambi digantikan dengan Ir Syaiful Z.
·         Mengganti Atmajaya sebagai Kasat Pol PP Kota Jambi  diganti dengan Sabriyanto
Dihimpun dari:
Wawancara kepada salah satu staff dinas PU Kota Jambi, Bapak Zulhasni SE.
2.3 Kapitalisasi pilkada ( money talks more )
Politik transaksional sudah bisa dilihat mulai dari proses penentuan calon yang diusung oleh partai politik. PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 36 Ayat 1 menyatakan bahwa "pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik secara berpasangan". Hal ini akan dimanfaat dari hal ini seksama kita ketahui bahwa partai politik akan mengutamakan kepentingan partainya, jadi siapapun yang diusulkan oleh partai tidak akan bisa secara penuh membela kepentingan rakyat dan akan pasti mendahulukan kepentingan sebagian kelompok saja (partainya).
Ini adalah proses ketika pesta demokrasi rakyat akan sangat terasa. Ketika semua partai mengibarkan panji – panji kebesarannya, mengerahkan seluruh massanya, dan meneriakkan segala jargonnya. Namun disisi lain ini sekaligus saat – saat terbesar perputaran uang terjadi, sebuah transaksional politik massal berlangsung. Karena ini adalah saat ketika pemberian “hadiah” dari para calon Kepala Daerah kepada rakyat yang telah dibutakan oleh “hadiah” tersebut. Maraknya politik uang dalam pilkada langsung merupakan perluasan dari politik uang yang tadinya terbatas hanya di kalangan anggota DPRD, kini meluas terhadap/di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin.
 Di era ‘kapitalisasi pilkada’ saat ini, figur-figur berduit atau yang dipasoki dana oleh pihak lain, peluang mereka untuk memenangi pilkada langsung cenderung besar dengan cara money politics. Masyarakat pemilih lapis bawah yang jumlahnya cukup besar namun pendapatan mereka relatif kecil, kelompok ini cukup rentan sekaligus cukup ’permisif’ terhadap praktek-praktek politik uang yang dilakukan oleh para kandidat dan orang-orangnya. Hadiah yang diberikan tidak selalu dalam bentuk uang, seperti ketika ada pemberian televisi pada pos pemuda, kebutuhan harian, peralatan sekolah, pembuatan fasilitas umum seperti lapangan sepak bola yang dibiayai calon, kegiatan – kegiatan yang melibatkan massa seperti turnamen olahraga hingga yayasan pondok pesantren atau panti asuhan pun tiba-tiba tersengat banyak bantuan.
2.4 Premanisme pilkada
Persaingan yang tidak sehat terjadi hampir disetiap pilkada. Pilkada sering dijadikan ajang perebutan kekuasaan yang sarat pragmatisme, sangat kompetitif, dan amat menegangkan. Bukannya dampak positif menciptakan tatanan baru yang lebih mapan, demokratis, dan akuntabel, malah pilkada berdampak negatif semakin memperkeruh kondisi bangsa ini. Situasi seperti disebutkan, tentu saja menguras energi sosial dan politik yang tinggi, serta berpotensi mengganggu ketertiban dan kedamaian publik. Bermacam cara yang menjurus anarkis dilakukan mulai dari intimidasi dengan memaksakan untuk memilih ke salah satu pasangan calon dan mencegah orang untuk pergi ketempat pencoblosan, perusakan atribut kampanye milik pasangan lain.
Memang, kekerasan dan anarkisme bukan hal baru dalam pilkada, atau sistem pemerintahan di negeri ini. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, kekerasan dan anarkisme itu acap kali menyembul ke permukaan. Bukan hanya terjadi dalam kegiatan politik praktis, tetapi juga terkait kegiatan pemerintahan. Bukan hanya kekerasan yang berlangsung antarkelompok masyarakat, tetapi juga kekerasan aparatur pemerintah terhadap warga masyarakat. Akan tetapi Premanisme pilkada langsung di masa reformasi lebih parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding dalam pilkada dengan sistem perwakilan pada era Orde Baru. Dan Yang lebih buruk dari itu adalah terjadinya konflik-konflik elit lokal akibat pilkada langsung yang merambat ke masyarakat sehingga acapkali terjadi kekerasan. Masalah ini jarang sekali terjadi dalam sistem pilkada melalui DPRD di era Orde Baru.
2.5 Hasil yang kontraproduktif ( pemimpin bobrok )
Hal yang paling mengecewakan dari proses pilkada saat ini adalah hasil yang tidak sesuai harapan. Kenyataan bahwa pilkada langsung ternyata tidak secara otomatis menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, yaitu yang penuh dengan keteladanan dalam keseharian hidupnya, cakap dalam mengelola pemerintahan daerah dan telah terbukti hasil-hasil karya dan kinerja mereka. Seperti telah banyak kita ketahui bahwa pemenang pilkada langsung umumnya adalah figur-figur pengusaha atau orang-orang yang didukung uang dan parpol-parpol pengusung. Parpol-parpol pengusung pun mempunyai ’harga’ yang harus ’dibayar’ oleh kandidat. Kenapa uang begitu penting di sini adalah karena pilkada langsung telah menjadi industri dan ’komoditas’ yang penuh dengan hitungan-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para ’rational voters’, akhirnya hanya menjadi ’lips service’ belaka sekedar untuk memenuhi persyaratan prosedural formal
Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan harapan, yang bersih dan berwibawa akan sangat sulit terwujud. Sebab, yang menjadi fokus utama dari para peserta Pilkada adalah bagaimana caranya mengembalikan modal yang telah dibelanjakan saat proses kampanye, bukan fokus pada usaha membangun pemerintah yang bersih, berwibawa dan profesional. Contoh sederhananya adalah kasus Cabup Ponogoro. Yuli Nursanto alias Yuli Goong periode 2005-2010 yang stres dan gila karena kalah saat pilkada Ponorogo pada Agustus 2005 silam.



3.      Beberapa contoh konflik terkait Pilkada :
·         Peledakkan kantor DPRD  Kabupaten Morotai Maluku Utara dengan bom rakitan yang dilakukan oleh orang tidak dikenal. Diduga  motif dilakukannya tindakan teror untuk mengganggu proses pelantikan Bupati dan wakil bupati terpilih.
·         Mojokerto pada 21 Mei 2010, Massa mengamuk dan merusak failitas publik karena pasangan yang mereka dukung tidak lolos sebagai calon. Massa menyerang dan merusak  kantor DPRD dan Pemkab setempat dengan batu dan bom Molotov.
·         Di Kabupaten Puncak Jaya, 18 orang tewas karena terlbat bentrokan antara pendukung Bupati akibat calon yang mereka dukung dicoret oleh KPU setempat. Massa bentrok dengan pendukung calon lain yang lolos.
·         Agustus 2011, Kabupaten Ilaga, Papua belasan orang juga tewas  akibat bentrok pendukung yang tidak lolos pencalonan karena partai pengusung mencabut dukungan mereka.
·         Nangroe Aceh Darussalam, selama Pemilu 2009 sejumlah kantor partai politik lokal diserang, sementara beberapa aktivis parlok tewas.
·         Pasca kekalahan beberapa calon kepala daerah di Kota Jambi, Kantor KPU Kota Jambi di bakar oleh pendukung salah satu calon, sebagai bentuk upaya tidak menerima hasil dari pemulikada.
4.      Manfaat Semu dan Sikap Pesimis Masyarakat

            Sangat sedikit hal positif yang bisa diperoleh oleh masyarakat dari proses maupun hasi dari pemilihan kepala daerah secara langsung ( pilkadal ). Kalaupun ada manfaat itu hanya akan dirasakan hanya bersifat sementara dan dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa manfaat pilkada yang mungkin dapat dirasakan masyarakat :

1.      Masyarakat bisa mendapatkan keuntungan secara materil. Hal ini karena pada saat pilkada umumnya para calo berbaik hati untuk membagikan sedikit rezki yang dimilikinya. Para calon bagi – bagi sembako, uang, t shirt bergambar dll. Dan masyarakat tidak dilarang untuk mengambil / mendapatkannya dari berbagai calon.

2.      Menciptakan lapangan pekerjaan baru, yang untuk sementara waktu bisa mengatasi masalah kekurangan lapangan pekerjaan dinegeri ini. Banyak masyarakat yang menjadi tim sukses, juru kampanye maupun calo suara.

3.      Menggeliatkan usaha kecil dan menengah. Usaha percetakan, sablon, banner, konveksi dll akan meraup omzet lebih pada masa – masa pilkada. Hal ini tentu akan membantu menjalankan roda kehidupan  mereka.

4.      Keuntungan – keuntungan imateril, masyarakat akan mendapatkan hiburan gratis. Selama kampanye para calon akan mendatangkan artis – artis terkenal sebagai penarik massa. Masyarakat akan dihibur dengan aksi saling cela para kandidat yang diadakan diTV show atau debat terbuka lainnya.

5.      Semua memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bakal calon. Mulai dari pengamen hingga artis, dari tukang becak hingga anggota DPR, dari mantan narapidana hingga polisi atau tentara. Semua golongan bisa mencalonkan diri, asalkan memiliki dukungan dari parpol, massa pendukung yang siap tempur.

Berbagai konflik, manfaat semu hingga bobroknya pemimpin  yang dihasilkan membuat banyak anggota masyarakat yang bersikap antipati dan pesimis. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah massa golongan putih ( golongan yang tidak memihak / tidak bersedia mengikuti pilkada. Bagi mereka pilkada hanya alat demokrasi lokal atau proses sosial yang tidak memiliki makna. Pilkada hanya menjadi sebuah seremonial yang rutin dilakukan dalam periodisasi waktu tertentu, tanpa diikuti perubahan sekaligus pembaruan dari segi kultur, struktur dan proses birokrasi di level daerah.

5.      Perbaikan Sistem Guna Meningkatkan Kualitas Pilkada & Partisipasi Masyarakat

            Ada beberapa hal yang bisa diterapkan dan mungkin akan berdampak positif bagi kualitas pilkada dan partisipasi masyarakat diantaranya :

a.      Reformasi Kultural

Melakukan perbaikan – perbaikan pada pola pikir masyarakat, birokrat dan elemen terkait lainnya. watak masyarakat yang pada masih bersifat primordial dan feodalistis dalam mengahadapi liberalisasi politik harus segera diubah. Reformasi kultural juga bertujuan memperbaiki mentalitas pangrehpraja sebagai birokrat daerah, yang belum memahami hakikat tugasnya sebagai public service, atau abdi dan pelayan masyarakat. Jabatan publik (terutama kepala daerah), masih sering dilihat dan dimaknai sebagai sarana kapitalisme dan kejayaan pribadi. Mestinya jabatan publik itu harus dilihat sebagai tempat mengabdikan diri kepada masyarakat, sebagaimana diamanatkan melalui UU Kepegawaian. Diharapkan  tercipta sebuah kultur birokrasi lokal yang dinamis dan tertata dengan baik. Kultur demikian sangat terkait dengan unsur ranah, praktik dan habitus atau kebiasaan yang makin membudaya. Praktik dan habitus yang berbasis kualitas, profesional dan budaya, cenderung mengantarkan ke gerbang harmoni dan kedamaian. Sebaliknya, basis arogansi materialisasi dan hegemoni sangat potensial menjerumuskan ke kancah konflik dan kekerasan.

b.      Perbaikan Sistem  Penyelenggaraan, Pengawasan  dan Rekrutmen

Hal yang sering dijadikan sumber permasalahan adalah proses penetapan calon, proses penyusunan dan penetapan daftar emilih tetap  (DPT) terkait dengan  akurasi dan akuntabilitasnya. Sering terjadi manipulasi dan praktek – praktek mal-administrasi. Setelah itu perlu ada transparansi terkait dengan hasil perhitungan suara. Di level Panwaslu, cara-cara pengawasan yang transparan yakni yang obyektif dengan  tolak ukur yang jelas, serta target-target dan pelaporan progress report  kinerja pengawasan yang disampaikan secara periodik di setiap tahapan Pilkada perlu dilakukan menjadi modal bagaimana proses Pilkada didorong ke arah yang benar-benar transparan.
Dilevel  parpol, harus ada perbaikan pada proses rekrutmen internal kandidat. Parpol jangan mengambil pilkada ini sebagai ladang untuk mengambil keuntungan, dengan mengusung calon yang memiliki uang banyak tanpa mempertimbangkan kelayakan dan kepatutan. Harus ada transparansi pada pola-pola fund rising (darimana dan berapa uang yang diperoleh) dan kinerja anggaran di parpol.
c.       Pemahaman masa transisi dan kesalahan konsep
Transisi memang tak luput dari berbagai masalah, meski begitu berbagai masalah ini bias dijelaskan secara alamiah. Jika demokrasi diandikan sebagi sebuah system politik yanga antara lain berfungsi untuk memfasilitasi atau menyalurkan , mengelola, dan melembagakan aneka kepentingan yang berbenturan (konflik) maka apa yang tengah terjadi pada masa transisi di Indonesia ternyata berbeda. Menurut Sutoro Eko, hadirnya pemerintah partai menimbulkan sejumlah masalah baru bagi demokrasi local, menyuguhkan kebangkitan raja-raja kecil di daerah, memindahkan korupsi dari Jakarta ke daerah, konflik kewenangan dan sumber daya , pelipat gandaan pajak dan retribusi daerah. Elit yang jauh dari sentuhan rakyat, konflik horizontal (agama dan etnis), dan lain sebagainya. Agaknya ini dianggap sebagai sumber bencana dan malapetakan , sehingga pada suatu ketika timbul kerinduan pada rezim orde baru yang lebih menjanjikan keamanan, dan juga kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 dipimpin oleh orang yang kurang menyadari hal tersebut, akibatnay reformasi dimanfaatkan dan dibajak oleh pihak-pihak yang memperjuangkan sikap hidup individualisme-liberalisme.
Banyak yang menganggap akar permasalahan dari masa transisi ini adalah produk hukum, jika partai politik ikut mengatur dan mengintervensi proses legislasi maka produk tersebut tidak akan mempresentsikan kepentingan rakyat. Singkatnya, latar politik A akan melahirkan hukum dengan karakter A. Pada akhirnya bukan berasaskan kepentingan rakyat, akan tetapi kepentingan politik.
Maka diperlukan pengawasan internal yang bukan berasal dari partai politik, yang akan menjadi penyeimbangdari kamar yang menghasilkan produk legislasi. Saldi Isra dan Zaenal Arifin Muchtar menyatakan bahwa kamar kedua dalam hal ini adalah DPD yang berfungsi menjalankan fungsi control bagi DPR, tanpa mekanisme control internal tersebut, maka kualitas dari fungsi parlemen dalam hal legislasi, representasi, control, anggaran maupun rekrutmen jabatan public menjadi berkurang.
d.      Pembangunan hukum dengan landasan moral
Negara harus berdasarkan hukum yang mengetengahkan moral. Moral inilah yang menjembatani masyarakat menuju kenyataan yang diharapkan , menurut Jimly Asshidique negera hukum yang mengetengahkan moral adalah bercirikan sebagai berikut :

§  Supremasi hukum
§  Persamaan dalam hukum
§  Asas legalitas
§  Pembatasan kekuasaan
§  Organ-organ eksekutif independent
§  Peradilan bebas dan tidak memihak
§  Peradilan tata usaha Negara
§  Peradilan tata Negara
§  Perlindungan hak asasi manusia
§  Bersifat demokratis
§  Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
§  Trasnparansi dan control social.

 


 

C.    Kesimpulan

Pada dasarnya pemerintahan daerah dengan teknis pemilihan langsung pada kepala daerahnya lebih banyak masalah yang timbul dan kerugian Negara. Diantaranya masalah yang timbul itu adalah sebagai berikut :

Ø  Besarnya biaya peyelenggaraan

Ø  Politisasi birokrasi

Ø  Kapitalisasi pilkada

Ø  Premanisme pilkada

Ø  Hasil yang kontraproduktif

Beberapa Contoh Konflik terkait Pilkada :

·         Peledakkan kantor DPRD  Kabupaten Morotai Maluku Utara dengan bom rakitan
·         Mojokerto pada 21 Mei 2010, Massa mengamuk dan merusak failitas publik
·         Di Kabupaten Puncak Jaya, 18 orang tewas karena terlbat bentrokan
·         Agustus 2011, Kabupaten Ilaga, Papua belasan orang juga tewas  akibat bentrok
·         Nangroe Aceh Darussalam, selama Pemilu 2009 sejumlah kantor partai politik lokal diserang.
·         Pasca kekalahan beberapa calon kepala daerah di Kota Jambi, Kantor KPU Kota Jambi di bakar oleh pendukung salah satu calon.

Berikut Upaya perbaikan atas permasalah yang telah ada, ditinjau dari sisi pemerintah, dan partisiapsi masyarakat :

ü  Reformasi cultural

ü  Perbaikan system penyelanggaraan, pengawasan, dan rekrutmen

ü  Pemahaman masa transisi dan kesalahan konsep
ü  Pembangunan hukum dengan landasan moral

 

 

Referensi :

UU no 19 th 1999

UU no 32 th 2004

UU No. 22 Tahun 2007

UU no  22 tahun 2009

Meninjau Kembali “Eksperimentasi” Pilkada Langsung Di Indonesia, Ditulis oleh Tri Ratnawati , Koran Jurnal Nasional

HM Harry Mulya, Dilema Pilkada Langsung, Dilema Terhadap Demokrasi, www.bataviase.co.id

Dilema Pemilukada di Indonesia. www.Kompas.com

Hendri F. Isnaeni, Melintasi Sejarah Pilkada di Indonesia, Majalah FIGUR Edisi XXII/Februari 2008

Agus Wibowo, Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Meminimalisasi Konflik dan Golput di Pilkada

Media Indonesia

www.theindonesianinstitute.com

Website Komisi Informasi Pusat

Wawancara kepada salah satu staff dinas PU Kota Jambi, Bapak Zulhasni SE.

www.berita2.com

Jeddawi, Murtir. “Negara Hukum Good Governance, dan Korupsi di Daerah”. Total Media. Yogyakarta. 2011.

 

 

 

 

 

 

 

Isu dan Kebijakan Otonomi Daerah
Kelompok 1 :
GILANG PRATAMA OSKAR 0910842023
 






ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FISIP
UNIVERSITAS ANDALAS
2011