TINJAUAN PENYAKIT BIROKRASI DARI SISI TEORI ORGANISASI
( Studi Kasus di Pemerintah Kabupaten Brebes)
pendahuluan
Pelaksanaan otonomi di beberapa daerah kota/kabupaten di Indonesia, sehubungan dengan fungsi pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik (public service provider) masih jauh dari harapan masyarakat. Pola juraganisme (minta dilayani) masih saja terjadi dan bukan sebaliknya. Bila ini terus terjadi tanpa adanya perubahan pola kinerja aparatur negara dikhawatirkan akan memberkas menjadi sebuah mindset PNS di kemudian hari. Pada akhirnya akan mengganggu efektivitas kinerja aparatur negara di daerah yang umumnya masih rendah. Ini bisa dirasakan dari pelayanan yang lamban maupun penyelesaian pembangunan daerah yang tidak tepat waktu.
Padahal semangat otonomi daerah melalui UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin terbuka bagi setiap pemerintah daerah untuk dapat lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga patologi birokrasi dapat ditekan dan mungkin dihindarkan. Dengan demikian akan lebih mendekatkan akses masyarakat kepada pemerintah. Selain membawa konsekuensi logis, maka akan lebih jelas tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pelayanan kepentingan masyarakatnya. Dalam arti luas, birokrasi dalam pelayanan publik akan mewujudkan suatu tata kepemerintahan yang baik (good governance).
Di samping itu, otonomi daerah harus juga diyakini sebagai alat yang dapat mengakomodasi arus semangat reformasi dalam hal pemberantasan KKN di setiap lini birokrasi pemerintahan, sehingga harapan pelayanan prima benar-benar bisa terwujudkan di level pemerintahan yang paling rendah sekalipun. Artinya pelayanan tersebut dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan melebihi dari standar yang telah ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Good governance menjadi isu yang aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil secara profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu.
Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional.
Sebelum reformasi bergulir, birokrasi seolah hanya menjadi mesin salah satu parpol yang segala tindakannya selalu membawa visi misi parpol tertentu yang memegang tampuk kekuasaan. Birokrasi tidak lagi independen dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada era reformasi ini, banyak peluang bagi birokrasi untuk bersikap netral dan hanya menjalankan tugas administratif. Birokrasi sebagai satu lembaga yang melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat politisi, sudah saatnya dibangun dengan menganut prinsip rasional dan efisien. Dengan prinsip ini, birokrasi dapat berkembang dan tampil profesional. Terlepas dari berbagai permasalahan yang mewarnai birokrasi itu, harus diyakini bahwa untuk menjadikan birokrasi profesional itu tidak mudah. Tetapi, bagaimana ide ini harus dilakukan. Jika birokrasi tidak mereformasi dirinya untuk tampil
Oleh karena itu, birokrasi harus mampu mereformasi diri, menjadi sosok profesional dengan pelayanan prima dan berlaku sebagai abdi negara dan masyarakat, siap atau tidak siap.
Hal lain yang juga menjadi penghambat upaya mewujudkan birokrasi yang profesional adalah adanya penyakit dalam tubuh birokrasi yang disebut patologi birokrasi. Patologi birokrasi ini yang menyebabkan imej masyarakat negatif tentang birokrasi. Menurut Siagian (1995), patologi birokrasi dapat muncul karena beberapa hal. Yaitu: persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, tindakan birokrat yang melanggar norma hukum, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional, akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan. Patologi birokrasi ini harus dicermati untuk mewujudkan birokrasi profesional. Jika hal ini terus berlangsung, akan tercipta kondisi pemerintahan yang buruk (bad reputation of bureaucracy).
PERMASALAHAN PATOLOGI BIROKRASI ( Studi Kasus di Pemkab Brebes ) :
Bagaimana Pelaksanaan Patologi Birokrasi di Pemerintah Kabupaten Brebes bila di tinjau dari Sisi Teori Organisasi. Fenomena apa yang menarik dan tidak menarik di sisi patologi birokrasi di Pemkab Brebes, Adakah bahan pendukung fakta atau realita patologi birokrasi di Kabupaten Brebes. Dan upaya apa sajakah yang telah dilakukan di Pemkab Brebes untuk memecahkan patologi birokrasi.
PEMECAHAN STUDI KASUS PATOLOGI BIROKRASI DI PEMKAB BREBES MELALUI PENDEKATAN KLASIK DAN NEO KLASIK
Dalam era reformasi saat ini, tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik adalah sesuatu yang cukup beralasan dan tidak berlebihan, mengingat sampai sejauh ini masyarakat masih menilai bahwa kualitas pelayanan publik masih rendah serta kinerja pelayanan publik khususnya oleh pemerintah daerah masih sangat jauh dari yang diharapkan (Dwiyanto, 2002).
Pada sisi yang lain, kualitas aparatur di daerah yang berada di bawah standar, mengakibatkan kesulitan bagi pimpinan unit kerja untuk membagi tugas secara merata. Gaji rendah (alasan klasik), menyebabkan aparatur akan cari tambahan melalui kerja sampingan yang pada umumnya akan mengganggu kegiatan rutin di kantor. Selain itu, penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya dapat menimbulkan masalah pada manajemen kantor serta dapat mengakibatkan kegagalan pada pencapaian tujuan organisasi. Beban kerja tidak dibagi habis ke seluruh staf, sehingga ada staf yang tidak punya tugas hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan beban kerja yang dapat menimbulkan gangguan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Untuk itu pimpinan unit kerja harus terlebih dahulu memerincikan semua tugas dan tanggung jawab instansi sampai pada level aparatur yang paling rendah. Di sini penting dilakukannya pengelompokan tugas-tugas, sehingga dapat ditetapkan siapa akan mengerjakan apa dan kapan harus diselesaikan serta mewajibkan aparatur membuat laporan tentang hasil dan rencana kerja secara berkala, pembagian tugas ini harus diiringi dengan sanksi dan penghargaan (reward). Dalam pembagian tugas-tugas itu seharusnya dibuat secara tertulis sesuai dengan Tupoksi masing-masing unit kerja yang dilengkapi dengan prosedur atau alur kerja dari setiap bagian sampai kepada personel yang terlibat dalam melakukan setiap kegiatan.
Namun hal ini tidaklah mudah dapat dilakukan oleh semua kepala unit kerja karena masih banyak faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja aparatur itu, misalnya faktor moral dan ekonomi atau rendahnya penghasilan. Meski tidak ada jaminan bahwa pendapatan ditingkatkan akan meningkatkan kinerja sebab yang paling sulit adalah mengubah kebiasaan sebagaimana sulitnya melakukan hal yang belum biasa.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81/1993 tersirat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu. Melalui aturan baku tersebut, secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan.
Dari gagasan dan realita empiris mungkin ada beberapa hal yang mungkin dapat menjadi sebuah solusi untuk dijadikan bahan evaluasi pengambil kebijakan di masa datang, yakni, pertama, pada lingkungan birokrasi di beberapa daerah masih banyak terapat kasus mengenai isu daerah abu-abu (grey area) hal ini dikhawatirkan akan menjadi lahan subur patronasi dan kesempatan untuk mengembangkan moral hazard di antara PNS di pemerintahan daerah. Kedua, dalam penanganan isu-isu reformasi birokrasi pelayanan publik oleh penyedia layanan publik masih terjadi adanya monopoli oleh pemerintah daerah. Hal ini masih dirasakan adanya stagnase bahkan cenderung belum memperlihatkan perubahan yang signifikan. Artinya di setiap pelayanan publik masih dirumitkan dengan sesuatu birokrasi yang terkadang tidak rasional.
Berkaitan dengan pelayanan publik, masih terdapatnya pelaksanaan aturan normatif yang tidak secara tegas mengatakan bahwa hal tersebut adalah "hitam" atau "putih", semuanya berlangsung disamarkan. Tidak jelasnya kepastian mengenai jumlah biaya serta waktu yang diperlukan di dalam birokrasi pelayanan publik. Ini merupakan contoh kasus konkret yang harus segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Apa_ratur Negara
Menurut Lord Acton (1972), Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, namun kekuasaan yang absolut pasti korup) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN.
Fenomena Patologi Birokrasi di Kabupaten Brebes
Opini Publik di Kabupaten Brebes mengatakan bahwa Kepemimpinan dibawah Bupati Indra Kusuma berjalan ditempat. Bahkan sebagian Aktivitis pergerakan Mahasiswa, KNPI, dan elemen ornop Brebes pada saat mengadakan Refleksi Akhir tahun perjalanan Roda Pemerintahan Bapak Indra Kusuma sejak tahun 2002-2007 selaku Bupati Brebes memutuskan hasil kajiannya dan memberikan penghargaan berupa “ Raport Merah”. Kemudian pada bulan Mei tahun 2008 Bupati Brebes diberikan penghargaan “ Aking Award “ karena sejumlah elemen mahasiswa, aktivis pergerakan menganggap jumlah angka kemiskinan semakin besar bukan malah menurun dan ada kesalahan statemen di media cetak dan elektronik seorang pejabat ( Kepala Kantor ) yang menyatakan bahwa Berita Nasi Aking adalah berita rekayasa media saja, mereka bermaksud untuk menjatuhkan kepemimpinan Bupati.
Di satu sisi yang lain para organisasi masyarakat (Organisasi kepemudaan) mengatakan birokrasi Kabupaten Brebes sedang berobat jalan, maksudnya untuk menggambarkan bahwa semenjak dipimpin oleh Bupati Indra Kusuma pejabat dilingkungan Pemkab belum siap untuk berbenah diri secara menyeluruh. Kritik pedas itu menanambah perbendaharaan data bahwa pemerintahan Brebes untuk mengurangi kelemahan dasar (the basic constraints) yang melekat pada birokrasi. Padahal keberadaan birokrasi amatlah penting untuk mensejahterakan rakyatnya.
Fenomena praktek-praktek kurang terpuji di level pejabat. Dikutip dari laporan Transparency International tentang peringkat korupsinya terparah, temuan korupsi di daerah daerah, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang temuan 4.451 kasus penyimpangan keuangan negara dan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang tak terlaporkan, adalah data-data empiris, yang nyata yang harus diperhatikan.
Contoh yang dapat adalah pada hasil audit BPK atas laporan hasil keuangan Pemerintah Kabupaten Brebes tahun 2006, dimana antara lain :
1. Pengeluaran Biaya Tunjangan Perbaikan Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD sebesar Rp182.827.575,00 tidak sesuai ketentuan
Pada Tahun Anggaran 2005 dalam Pos Belanja Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah dianggarkan belanja administrasi umum sebesar Rp4.371.180.000,00 dan telah terealisasi sebesar Rp4.371.180.000,00 atau 100%. Dari realisasi tersebut diantaranya pada kode rekening 2.01.01.1.1.01.24.1 Tunjangan Perbaikan Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD dari anggaran sebesar Rp185.471.000,00, telah direalisasi sebesar Rp182.827.575,00 atau 98,57%. Pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban (SPJ) yang pengelolaannya pada pengguna anggaran Sekretariat DPRD diketahui bahwa sesuai SPMU Nomor 921/382/2005 tanggal 18 Oktober 2005 telah dibayarkan uang sebesar Rp182.827.575,00 yang peruntukannya adalah untuk membayar tambahan penghasilan ke-13 kepada para Pimpinan dan Anggota DPRD.
2. Pengeluaran biaya perjalanan dinas sebesar Rp12.504.000.00 tidak dapat diyakini kebenarannya
Pemeriksaan atas pengeluaran belanja pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Brebes menunjukkan bahwa pada APBD Tahun 2005 telah dianggarkan kode rekening 2.01.06.2.3.01. 1 untuk biaya perjalanan dinas pada Belanja Aparatur sebesar Rp104.311.000,00, realisasi Rp74.258.000,00. Sedangkan pada kode rekening 2.01.06.2.3.01. 2 Belanja Publik perjalanan dinas telah dianggarkan sebesar Rp203.966.000,00 dan telah terealisasi sebesar Rp157.246.900,00 atau 77,09%. Pemeriksaan atas realisasi pengeluaran-pengeluaran beserta bukti-bukti pengeluaran antara lain Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dan daftar kehadiran para pegawai BAPPEDA menunjukkan bahwa terdapat beberapa Perjalanan Dinas yang tidak dapat diyakini kebenarannya antara lain dua perjalanan dinas dilakukan bersamaan dalam hari dan tanggal yang sama/beberapa lokasi yang berbeda serta terdapat pegawai yang melakukan perjalan Dinas keluar kota namun daftar hadir menunjukkan bahwa yang bersangkutan sebenarnya tidak sedang melakukan Perjalanan Dinas atau (berada di Brebes yang dapat di lihat dari absensi masuk kantor)
Rekomendasi BPK-RI
Bupati Brebes agar menegur Pengguna Anggaran dan para pelaksana kegiatan untuk tidak mengulanginya lagi pada masa yang akan datang dan mengembalikan kerugian daerah sebesar Rp12.504.000,00 ke Kas Daerah serta mengirimkan foto copy bukti setornya ke Perwakilan BPK RI di Yogyakarta.
Budaya ABS ( Asal Bapak Senang ), juga sering terjadi di tingkat SKPD. Loyalitas bawahan kepada atasan memang sangat tinggi, bukan karena loyal kepada organisasi tapi lebih kepada atasannya. Salah satu realita yang jelas nampak adalah pada saat Bupati dan wakil bupati serta sekda mencalonkan diri dalam bursa Pilkada langsung. Gesekan administrasi dan kebijakan sangat tinggi. Persoalan hirarki organisasi di langgar, organisasi juga tidak di lakukan, terjadi pengkotak-kotakan, antara pejabat di lingkungan pemkab saling jegal menjegal, sesuai kubunya masing-masing. Apakah mereka pro Bupati, Pro Wakil Bupati atau Pro Sekda. Karena lawan dianggap musuh maka mereka pun saling unjuk gigi. Memanfaatkan kekuasaannya lewat disposisi surat. Sehingga kesan di lapangan betul-betul ada problem yang sangat mendasar dan secara etika birokrasi tidak patut.
Budaya Menunggu Petunjuk/arahan, realitas di lapangan dalam pembuatan Surat Keputusan Bupati tentang xxxxxx. Pengusul surat harus menunggu disposisi turun dari pimpinan dan melalui beberapa meja kekuasaan, biasanya Surat yang tidak dikawal akan tertumpuk di meja bupati bahkan ada juga kegiatan hampir selesai, baru SK pengajuan turun. Walaupun struktur pengajuan secara hirarkis, tapi kadang-kadang budaya neo klasik tetap dilakukan. Seperti contoh bila ada uang pelicin maka nota dinas atau seperti pembuatan Surat Keputusan Bupati menjadi cepat ( layanan prima tapi ada pamrihnya, dianggap insentif bekerja ( Non budgetter).
Belum berorientasi prestasi, fakta di lapangan, karyawan yang pintar, cekatan, dan etos kerjanya tinggi biasanya di sayang pimpinan. Tapi kata sayang, sebenarnya hanya dimanfaatkan kerjanya. Banyak pegawai di lingkungan pemkab yang kerjanya malas tapi menjadi beban negara karena mendapatkan gaji PNS, padahal kerjanya tidak maksimal. Akan lebih fatal lagi bila pembagian tugas tidak adil, tidak merata, tidak tuntas dan tidak jelas batas-batas maka akan terjadi gap yang kentara. Seorang pimpinan yang melakukan tindakan seperti ini biasanya tidak disukai oleh bawahan. Rata-rata orientasi prestasi jarang dilakukan, tapi orientasi neo klasik karena proses kedekatan dan hubungan psikososial.
Budaya Melayani Rendah. Dari sejumlah pelayanan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Brebes rata-rata penerapkan prosedur pembayaran tidak sesuai retribusi (Perda yang ditetapkan). Para petugas berdalih biaya lain-lain untuk ganti cetak dll. Seperti contoh pelayanan akta kelahiran ( usia 0-18 tahun ) gratis, tetapi pada pelaksanaan dilapangan petugas di catatan sipil masih memungut biaya kutipan akta kelahiran antara Rp. 5.000,- s.d. 10.000,- contoh lainnya adalah KTP dan KK. Dalam hal pelayanan, suatu kewajiban pelayanan yang mestinya tanpa konpensasi apapun, terhadap warga negara) harus diselesaikan terkadang sampai 7 hari. Hal ini terjadi sebab pelayanan KTP harus melalui RT (yang apabila ia sibuk bisa menunggu sehari? di RW sehari atau dua hari dan dikelurahan bisa memakan 3 sampai 4 hari, terutama apabila kesibukan luar, kepala desa atau lurah tinggi).
Di sisi yang lain KTP ataupun KK ini pun menjadi ajang bisnis bagi para petugas pelayanan. Walaupun pelayanan sudah di dekatkan di level kecamatan dan semua administrasi seperti blangko dan lainnya dialokasikan APBD tapi tetap budaya tambahan diluar perda tetap dilakukan. Sudah budaya tidak bisa di rubah, dan realita itu menjamur di semua unit pelayanan yang menangani seksi pelayanan.
Belum di dukung teknologi menyeluruh. Fakta di lapangan penerapan teknologi sebagian sudah ada hingga ke level desa/kelurahan. Namun sebatas pengadaan komputer itupun dari dana Alokasi Dana Desa ( Pos Operasional Kelembagaan Desa ). Sehingga mayoritas sekarang di semua balai desa sudah ada Piranti komputer. Namun kalau sampai bisa online dengan server di pusat sementara belum bisa dilakukan. Contoh lain seperti adanya Sistem Informasi Kependudukan ( SIAK ) di kantor catatan sipil, sesuai petunjuk SIAK hingga level kecamatan dan secara online bisa ditetapkan. Namun ketika piranti komputer tersebut di operasionalkan tidak bisa menggunakan piranti tersebut. Keterbatasan modal, dan keengganan untuk mengoperasionalisasi teknologi bagi pejabat lebih dominan. Mereka tidak mau susah payah belajar teknologi. Padahal manfaat teknologi ini sangatlah besar dan mengurangi high cost yang tinggi.
Jumlah pegawai relatif besar, kurang bermutu dan asal jadi. Fakta ini dapat dilihat pada prosesi CPNS. Dimana yang diprioritaskan adalah karena pengabdian yang lama tetapi bukan pada spesialisasi bidangnya. Banyak pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Seperti contoh Jabatan Kepala Kantor Peternakan di pimpin oleh lulusan sarjana hukum. Sisi yang lain pada saat pengangkatan pegawai ( mutasi ) tidak menggunakan mekanisme jenjang. Kadang-kadang Bupati dengan kekuasaannya melakukan mutasi karena politik balas budi, dan mereka yang dulunya mendukung politisi ( Calon Bupati ) yang tidak jadi kena imbasnya di pindahkan ke tempat yang tidak sesuai dengan spesialisasi pekerjaannya.
Begitu beragam kritikan tajam kepada birokrasi seakan-akan kebaikan dan manfaat birokrasi sebagaimana dimaksudkan oleh sang pengenal—Max Webber—kalah dengan patologinya, yaitu penyimpangan—penyimpangan dalam praktek penyelenggaraan sehari-hari, padahal pada awalnya birokrasi diciptakan guna ingin mencapai idealitas-idealitas penyelenggaraan pemerintahan.
Kelemahan birokrasi tidak hanya pada tataran strukturnya yang rigid, namun juga memiliki kelemahan proses, approach dan kelemahan personel, oleh sebab itu orang sangat sulit memulai darimana dan oleh siapa pembenahan musti dimulai, sebab ketika suatu elemen birokrasi atau unsur non pemerintahan melakukan pembenahan—karena besarnya arus praktek yang berlangsung terus menerus, elemen pelaku pembenahan itu akan terdistorsi oleh kuatnya arus yang berjalan secara menyeluruh itu.
Pencegahan Patologi Birokrasi Pemkab Brebes melalui Pendekatan Organisasi Klasik dan Neo Klasik :
Agar Patologi Birokrasi dapat di atasi dengan terstruktur di Pemkab Brebes maka yang harus dilakukan oleh Pemkab Brebes yaitu untuk budaya melayani rendah harus melakukan pelayanan publik berkualitas, dimana pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Adapun langkah-langkah strategis yang kiranya dapat diambil antara lain, pertama, menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi horizontal ataupun promosi vertikal.
Langkah kedua, yakni antisipasi sedini mungkin mengenalkan teknologi informasi sehingga dapat memudahkan dalam pelayanan publik. Dan hindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah secara eksplisit diterangkan biaya serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktik di lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan menyediakan mesin. Yaitu setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai "perangko" ataupun "kupon" bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak ada yang lain. Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan mengadakan kerja sama antara pihak penyedia layanan (pemerintah daerah) dengan pihak bank.
Bila ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antre yang tersistematis melalui pengadaan mesin antre (queuing machine). Kenapa budaya antre? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum menganggap antre sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah banyak diaplikasikan di instansi-instansi swasta dan hasilnya-pun cukup efektif untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
Sementara berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu untuk memudahkan apabila terjadi ketidakpuasan pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.
Dengan demikian, pada saatnya nanti akan menghasilkan pembagian beban kerja yang baik dan dapat mendorong kreatifitas dan produktivitas aparatur, selain itu efektifitas kinerja aparatur akan secara bertahap dapat ditingkatkan. Dengan peningkatan efektivitas kinerja ini akan berdampak pada peningkatan pelayanan pada masyarakat dan ketepatan waktu penyelesaian pembangunan. Semoga semua ini menjadi sebuah inspirasi bagi kebijakan pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik khususnya di Pemerintah Kabupaten Brebes.
Sisi yang lain Pemkab Brebes harus melakukan paradigma pelayanan publik sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Agar dapat memenuhi keinginan masyarakat, agar patologi birokrasi bisa di obati maka melalui pembentukan model pelayanan publik yang sesuai dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini di mana pemerintah berada dalam era desentralisasi. Model pertama adalah model traditional bureaucratic authority. Ciri dari model ini adalah bahwa pemerintahan daerah bergerak dalam kombinasi tiga faktor yaitu : pertama, penyediaan barang dan layanan publik lebih banyak dilakukan oleh sektor publik (strong public sector). Kedua, peran pemerintah daerah sangat kuat (strong local government) karena memiliki cakupan fungsi yang luas, mode operasi yang bersifat mengarahkan, derajat otonomi yang sangat tinggi, dan tingkat kendali eksternal yang rendah. Ketiga, pengambilan keputusan dalam pemerintah daerah lebih menekankan pada demokrasi perwakilan (representative democracy).
Patologi birokrasi belum didukung teknologi menyeluruh maka perlu ditetapkan sistem teknologi yang Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi dalam kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi tradisional tersebut biasanya dianggap tidak lagi memadai. Untuk itu, diperlukan suatu model baru yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan ini. Model yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat serta merespon berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Kata kuncinya adalah Pemkab brebes harus melakukan pendekatan organisasi yang profesional, melayani kepentingan masyarakat terutama dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publiknya, seperti: (a) Model Kelembagaan, (b) Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik, (c) Model Siklus Layanan (Momment of Truth), dan (d) Model Standar Pelayanan Minimal. Model-model ini dimaksudkan agar permasalahan pelayanan publik dapat dilakukan dengan baik dan tidak adanya gap-gap.
PENUTUP DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat hal-hal perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1. Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
2. Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan administrasi dokumen.
3. Peningkatan kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.
4. Selain kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu.
5. Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.
Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta.
Suhadi Mukhlis, 2005 “ Bahan Ajar Teori Organisasi Publik dan Organisasi Manajemen Pemerintahan, Tanjung Pinang.