Latar Belakang
Pelayanan publik yang menjadi fokus studi disiplin Ilmu Administrasi Publik di Indonesia , masih menjadi persoalan yang perlu memperoleh perhatian dan penyelesaian yang komprehensif. Harus diakuai bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat terus mengalami pembaruan seiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat dan perubahan di dalam pemerintah itu sendiri.
Pada dasarnya manusia membutuhkan pelayanan , bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia . Hal senada juga dikemukaakan. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitasb dari birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan : berbelit-belit lambat, mahal , dan melelahkan . kecenderungan spserti ini tejadi karen masyarakat masih diposisikan senbagai pihak yang malayani bukan yang dilayani . oleh karena itu pada dasarnya dibutuhkan reformasi pelayanan publik denghan mengembalikan dan mendudukan pelayanan dan yang dilayani ke pengertian yang sesungguhnya.
Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik manjadi pelayanan masyarakat terhadap negara, meskipun negara berdiri sesungguhnya adalah untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannya . artinya ,birkrat sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat.
Dalam zaman kerajaan , birokrasi kerajaan dibentuk untuk melayanai kebutuhan raja dan keluarganya, bukan untuk melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja dan bukan abdi rakyat dan karena itu orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan reahja dan keluarganya ,yang dalah pere penguasa.
Sejak rezim orde baru , orientasi pada penguasa masih sangat kuat dalam kehidupan birokrasi publik. Nilai-nilai dan simbol-simbol yang digunakan dalam birorasi masih amat kuat menunjukan bagaimana birokrasi publik dan para pejabatnya mempersepsikan dirinya lebih sebagai penguasa daripada sebagai abdi dan pelayana masyarakat. Istilah penguasa tunggal sebagai sebutan untuk bupati dan gubernur pada zaman orde baru jelas menunjukan bagaimana birokrasi publik dan para pejabatnya pada waktu itu memerankan dirinya.
Pelayanan publik sebagai fokus disiplin Ilmu Administrtasi Publik tetap menarik untuik dicermati karena pelayanan yang diberikan oleh aparatut pemerintah kepada publik masih dianggap “belum baik atau tidak memuaskan “ hali ini dapat dilihat dari kesimpulanj Agus Dwi Yanto dan kawan-kawan (2003: 102) dalam govermance and desentralitaion disingkat GDS 2002 di 20 Provinsi di Indonesia tentang kinerja pelayanan publik menyebutkan “ walaupun pelaksanaan otonomi daerah tidak memperburuk kualitas pelayanan publik tetapi secara umum praktik penyelenggaraan pelayanan publik masih jauh dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik
Kerangka Teori
Selama hidupnya , manusia selalu membutuhkan pelayanan. Dalam pelaksanaan Pelayanan publik yang baik , saya mengambil teori dari doktrin NPS (New Public Service) ; doktrin tersebut antyara lain bahwa pelayanan publik harus (1) dilakukan secara demokratis; (2) dilakukan secara strategis dan rational atas dasar pertimbangan politik , ekonomi , serta organisasi; (3) dilakukan dengan mengutamakan dialog untuk mencapai kesepakatan pelayanan; (4) menganggap pengguna jasa sebagai warganegara (citizen) dengan hak dan kewajiban yang melekat; (5) responsif terhadap kebutuhan warganegara; (6) memperhatikan aturan yang telah disepakati bersama , nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat, norma-norma politik, standar pelayanan profesional, serta interes warganegara; (7) memberlakukan diskresi dan akuntabel meski banyak kendala ; (8)memiliki struktur yang terbuka dan kepemimpinan yang kolaboratif; (9) memilki motivasi yang kuat untuk melayani dan berkontribusi pada masdyarakat banyak.
Program pembaruan pelayanan warga masyarakat secara terpadu atau dikenal integrated civil service reform (ICSR) yang digulirkan oleh pemerintah Provinsi DIY diharapkan menjadi momentum yang tepat dalam penyikapi tuntutan reformasi birorasi . proram ini lebih mefokuskan pada perbaikan siostem perencanaan penataan organisasi , dan tata laksana birokrasi, aparatur dan pengembanagn sumber daya manusia , keuangan dan pengawasan , serta budaya pemerintahan yang menajdi dasar budaya kerja birokrasi.
Didalam keputusan MENPAN nomor 63 Tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan palayanan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut :
- Kesederhanaan
- Kejelasan
- Kepastian waktu
- Akurasi
- Keamanan
- Tanggung jawab
- Kelengkapan sarana dan prasarana
- Kemudahan akses
- Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan
- kenyamanan
Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan yang berkualiats kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban apartur pemerintahan sebagai abdi masyarakat . Menurut Sinambela dkk, pelayanan publlik yang berkualitas dapat dilihat dari beberapa indikator dibawah ini :
- Transparasi ,bersifat terbuka ,mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang dibutuhkan dan disediakan secara memeadi serta mudah dimengherti.
- Akuntabilitas ,dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Kondisional ,sesuai dengan kondis dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan denagn tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
- Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam peyeklenggaraan pelayanan pub lik dengan memperhatikan aspirasi ,kebutuhan dan harapan masyarakat.
- Kesamaan hak, tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan susku ,ras, agama , golongan ,gender,dan status ekonomi.
- Keseimbangan hak dan kewajiban ,pemberi ,dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Kasmir (2005:31), mengatakan bahwa pelayana yang baik adalah kemampuan seseornag dlam memberikan pelyanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanghgan denagn standar yang ditentukan.
Menurut Zethami & Haywood Farmer dalam Warella (1997:17), mengatakan ada tiga karakteristik utama tentang pelyanan , yaitu : (1) intangibility, (2) heteregeinity dan (3) Inseparability.
Lukman (1999) , menyebut salah satu ukuran keberhasilan menyajikan pelayanan yang bekualitas prima sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju kepada pelayana eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas.
Sementara itu Gerson (2002:55), menyatakan pengukuran kualitas in ternal memeng pentingh . tetapi semua itu tidak ada artinya jika pelanggan tidak puas denagn apa yang diberikan. Untuk membuat pengukuran kualitas lebih berarti dan sesuai, tanyakan kepada pelanggan apa yang mereka inginkan, yang bisa memuaskan mereka.
Konsepsi kepemerintahan yang baik atau good governance mengandung arti hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara , sektor swasta dan masyarakat (society). Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas ,akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima , demokrasi ,efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
PEMBAHASAN
Kinerja pelayanan birokrasi pemerintah pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan, hal ini bisa kita telusuri dari tingkat akuntabilitas, responsivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Ide reformasi yang menginginkan agar birokrasi lebih bersifat transparan, terbuka, dan jujur masih jauh dari harapan. Birokrasi masih tetap belum terlihat jelas atau secara nyata mengembangkan komitmen untuk mengembangkan iklim dialog dan membangun kepercayaan kepada public. Belum terbentuknya kepercayaan dari public terhadap birokrasi menyebabkan hubungan birokrasi dengan public sering kali masih belum komunikatif. Birokrasi membutuhkan kepercayaan public sebagai kunci utama bagi terselenggaranya pelayanan public yang akuntabel. Pemberian pelayanan transparan oleh birokrasi pemerintah yang mencangkup persyaratan, prosedur, keteppatan waktu, kepastian biaya dan keramahan petugas manjadi dambaan public pada era reformasi ini.
Tingginya keluhan masyarakat pengguna jasa terhadap pelayanan baik itu pelayanan KTP, Rumah Sakit, Pelayanan Perizinan dan sebagainya merefleksikan masih belum terpenuhinya aspirasi masyarakat pengguna jasa oleh birokrasi pelayanan. Birokrasi pelayanan belum sepenuhnya mengembangkan kultur dan manajemen pelayanan yang responsive terhadap kebutuhan masyarakat pengguna jasa, disamping itu juga panjangnya meja birokrasi atau alur birokrasi pelayanan yang ribet dan memakan waktu serta biaya pelayanan yang banyak menjadi salah keluhan masyarakat pengguna jasa.
Zaman reformasi ini, reformasi sebenarnya secara subtansial tidak terlalu banyakmenyentuh kultur pelayanan birokrasi terhadap public. Birokrasi masih tetap menempatkan public bukan sebagai pelanggan dalam pemberian pelayanan, melainkan sebagai objek pelayanan yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Reformasi belum memunculkan kesadaran aparat birokrasi akan pentingnya nilai-nilai akuntabilitas dalam pelayanan, seperti transparansi yang menyangkut biaya dan informasi, kepastian waktu penyelesaian urusan. Pelayanan yang dilakukan aparat birokrasi masih jauh dari nilai-nilai responsivitas sehingga menjadikan kualitas pelayanan yang diberikan jauh dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Dari hal ini dapat kita ketahui bahwa penyelenggaraan pelayanan public pada masa reformasi masih belum menyentuh permasalahan subtansial pelayanan, yakni kepastian dan kepuasan pelayanan.
Dalam reformasi itu sendiri, antara aparat birokrasi dan masyarakat belum adanya persamaan pemahaman atau cara pandang. Perbedaan pemahaman terhadap reformasi tersebut menjadi factor penyebabnya. Tidak semua aparat birokasi yang menyukai perubahan, terlebih lagi aparat yang merasa diuntungkan dengan system yang selama ini berlangsung. Pada sisi lain masyarakat menginginkan agar aparat birokrasi dapat bersikap dan berperilaku seperti yang diinginkan masyarakat yaitu pemeberian pelayanan public yang mudah, murah, cepat, tepat waktu serta tidak terbelit-belit.
Memang harapan dan keinginan masyarakat terhadap perbaikan kinerja birokrasi, seperti adanya pelayanan yang serba cepat, prosedur mudah, dan biaya ringan sering kali dirasakan aparat birokrasi tidak rasional. Keinginan masyarakat tersebut bukannya tanpa alasan sebab apabila masa lalu aparat birokrasi menganggap dirinya sebagai penguasa yang harus dilayani, dengan adanya reformasi, masyarakat pengguna jasa menghendaki justru masyarakat yang menjadi raja dan harus dilayani dengan sebaik-baiknya oleh aparat birokrasi. Masyarakat merasa bukan lagi sebagai objek pelayanan yang dapat dijadikan sapi perahan oleh birokrasi, masyarakat menghendaki bahwa pada masa reformasi harus menjadi subjek pelayanan yang ikut menentukan bentuk pelayanan dan harus diperlakukan secara manusiawi.
Birokrasi di pemerintahan menurut evert (1986) sudah cenderung mengarah pada “orwellization” yaitu proses pertumbuhan birokrasi (birokratisasi) yang akhirnya menkjadikan pertumbuhan birokrasi berada di luar kontrol birokrasi itu snediri atau telah terjadi inflasi birokrasi terutama di akhir orde lama dan di awal orde baru.
Data yang diperoleh Rohdewold (1997) mengenai pertumbuhan pegawai birokrasi (birokrat atau pegawai negeri) di Indonesia
Tahun | Jumlah pegawai | Persentase tumbuh |
Sebelum 1950 | 50000 orang | - |
1950 | 303500 orang | 507 % |
1960 | 393000 orang | 29 % |
1970 | 515000 orang | 31 % |
1980 | 2047000 orang | 297,5 % |
1993 | 4009000 orang | 95,8 % |
Apa yang menyebabkan masyarakat berkeinginan besar untuk menjadi seorang birokrat, atau bisa dikatakan terlalu banyak orang mengandalkan pemerintah. Gagasan untuk “bersokolah dan mencari pekerjaan yang aman dan menjamin” adalah dadasan bagus bagi orang yang dilahirtkan sebelum tahun 1930. zaman sekarang semua orang harus bersekolah untuk belajar dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Salah satu penyakit era industri adalah terlalu banyak orang tergantung pada pemerintah dalam hal pemecahan masalah pribadi mereka. Saat ini kita bahkan mengahdapi masalah yang besar karena pendelegasian tanggung jawab keuangan pribadi kita kepada pemerintaah.
Diperkirakan pada tahun 2020, akan ada 275 juta orang Amerika, 100 juta di antaranya menhrapkan semacam tunjangan pemerintah. Di antaranya termasuk pegawai federal , pensiunan militer, pekerja pos, guru sekolah, dan pegawai pemerintah yang lain , termasuk juga para pensiunan yang mengharapkan pembayaran jaminan sosial, jamniana kesehatan, dan pelayana yang baik. Dan menurut kontrak , merteka memenag layak mengharapkanya karena, dengan berbagai cara, sebagian besar telah melakukan investasi dalam janji itu. Sayangnya, ada terlau banyak janji yang diberikan selama bertahun-tahun dan sekarang tiba saat membayar tagihannya.
Gubernur Sulawesi Selatan HM Amin Syam menegaskan, pelamar yang jumlahnya membeludak harus diberi kesempatan untuk berkompetisi melalui proses rekrutmen pegawai yang jujur dan bersih. ''Jangan ada permainan sebab kasihan mereka. Jumlah yang akan diterima sangat sedikit sedangkan yang ikut untuk berebut peluang sangat banyak,'' katanya.
Begitu banyak pegawai negri yang ada di negara kita ini dan itu baru pada thun 1993 saja bagaimana dengan tahun berikutnya, tetapi pelayanan yang diberikan pihak birokrat ,masih belum optimal, hal itu mungki saja bisa disebabkan karena pengangkatan pegawai yang kurang cocok, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurang keseriusan . Disamping itu juga terdapat beberapa tindakan penyimpangan aparat pelayanan.
Berikut data adanya Kolusi dan korupsi yang berbentuk prilaku menyimpang para aparat pelayanan publik.
Tindakan | Jumlah Kasus |
Pungutan liar | 40 kasus |
Pencurian | 38 kasus |
Menunda pelayanan | 24 kasus |
Intimidasi | 24 kasus |
Kelalaian | 23 kasus |
Manipulasi | 20 kasus |
Penipuan | 17 kasus |
Administrasi tertutup | 16 kasus |
Arogansi | 12 kasus |
Asusila | 10 kasus |
Potret Pelayanan Publik di Indonesia
Seberapa Burukkah Pemberian Pelayanan Publik Kita ?
Sebuah survei mengenai Governance dan desentralisasi pada tahun 2002 dengan cakupan wilayah 150 kabupaten/kota di Indonesia menemukan tiga masalah besar dalam pelayanan publik , yaitu besarnya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan , dan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. (Dwiyanto : 2003)
Diskriminasi pelayanan seringkali muncul karena persepsi mengenai hak dan kewajiban antara penyedia layanan dan pengguna layanan belum mencapai titik temu. Misalnya saja adalah hak bagi setiap pengguna layanan untuk mendapatkan perlakuan yang wajar dan ramah dari penyedia layanan . hak tersebut jarang sekali dipenuhi bahkan terjadi hal yang sebaliknya ,yaitu justru pengguna layanan yang harus bersikap ramah terhadap penyedia layanan agar urusannya menjadi cepat dan lancar. Kewajiban untuk memberikan senyum dan bersikap ramah dari penyedia layanan yang merupakan suatu bentuk posisi penyedia layanan sebagai pelayan masyarakat tampaknya menjadi hal yang asanagat sulit sekali untukn diwujudkan . namun anehnya , sikap penyedia layanan tersebut menjadi berubahketika yang dilayaninya adalah kelompok orang denagn status sosial dan ekonomi yang tinggi yang memeliki hubungan kekerabatan dengan penyedia layanan atau dilihat dari besarnya uang rokok yang diterima.
Masalah lain yang berkaitan denagn ketidakpastian pelayanan dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya ketidakpastian waktu dan biaya pelayanan. Ketidakpastian waktu dan baiaya pelayanan sudah dianggap sebagai suatu hal yang wajar ketika beruerusan dengan birokrasi pelayanan publik di Indonesia. Keadaan ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak, baik yanmg sifatnya profesional maupun tidak, untuk membantu pengguna layanan mempercepat urusanya. Dari sinilah kemudian muncul tradisi uang rokok atau rente dalam birokrasi pelayanan publik (Dwiyanto : 2001). Akibatnya, banyak pengguna layanan yang kemudian lebih suka membayar ekstra di luar baiaya yang resmi (uang rokok) agar mereka memperoleh kepastian pelayanan. Hal tersebut menyebabkan biaya pelayana menjadi jauh lebih besar daripada biaya semestinya. Berbagai kasusu yang sering muncul dan ditemukan , baik dari hasil penelitian maupun dari surat kabar , menyiratkan bahwa masyarakat pengguna layanan belum merasa puas terhadap leyanan yang dinerikan oleh pemerintah.
Kedua , budaya birokrasi di Indonesia banyak mengadopsi budaya jawa yang hierarkis ,tertutup ,sentralisir , dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan sebagai pihak yang harus sihirmati (Niels; 1985). Selain itu, bawahan juga dituntut untuk mematuhi semua aturan demi kepentingan pribadi pimpinan.
Ketiga, tidak adanya sistem insentif yang secara efektif mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk berekrja secara efisien dan porfesional ikut memberi kontribusi terhadap kegagalan birokrasi dalam membangun kinerja yang baik . kewenangan monopolis yang dimilki oleh birokrasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik membuat birokrasi gagal mengembangkan budaya dan tradisi kompetisi. Akibatnya birokrasi kiehilangan dorongan dan insentif untuk meningkatkan efisisensi dan kualitas pelayanan. Pada tataran individual , rendahnya gaji dan langkanya sumber insentif finansial lainnya yang bisa diperoleh secara wajar oleh para pejabat birokrasi membuat mereka sering menyalahgunakan kekuasaan untuk menambah penghasilan mereka. Apalagi ketika kemempuan kontrol masyarakat yang lemah, kecenderungan pejabat birokrasi untuk menyalahgunakan kekuasaan menjadi semakin besar.
Fenomena yang dialami
Demikian paparan yang saya dapatkan dari berbagai sumber , sementara itu pada kenyataannya pelayanan publik yang saya dapat di perguruan tinggi (Universitas Andalas) juga menunjukan pelayanan yang bukan mencerminkan seorang birokrat yang baik, contohnya yang terjadi di perpustakaan umum Universitas Andalas , disana pelayanan yang didapat oleh mahasiswa sangat tidak wajar, para pelaku pelayanan tidak menunjukan sikap ramah , disaat seorang mahasiswa baru mengunjungi perpustakaan , beliau memberi tahu denagn nada yang kurang sopan terhadap mahasiswa tersebut. Dan juga lebih spesifiknya yang kami alami di program study Administrasi Negara , saat mengurus Kartu Rancangan Studi , anggota birokrat tersebut meminta uang tip agar urusan-urusan berjalan lancar, dan itu seharusnya tidak boleh dilakukan , oleh sebab pengguna layanan merasa terdesak, maka menyetujui apa yang di tuntut oeh birokrat tersebut.
Dan juga yang saya alami saat masih di bangku sekolah menengah atas, ketika mengurus ijazah tamat SMA, penyedia layanan meminta dana Rp 75000 sebagai dana administasi ijazah, untuk itu kami membayarnya dan beberapa hari setelah itu terdengar kabar bahwa ada seorang siswa yang tidak bisa membayar , dan tidak mendapat ijazah, maka orangtua dari siswa tersebut meminta perlindungan atau informasi yang lengkap kepada Dinas Pendidikan, laluj Dinas Pendidikan tersebut memeriksa pegawai birokrat di SMA dan meminta agar mengembalikan dana tersebut kepada siswa, meka dikembalikanlah dan kami menerimanya . tetapi tyerdapat ketimpangan, ada siswa yang mengembalikan dan juga ada yang tidak mengembalikan, bagi siswa yang mengembalikan maka urusan ijazahnya akan dipercepat, tetapi bagi siswa yang mengambil dana tersebut urusan mengenai ijazahnya akan dipersulit. Sungguh model birokrasi seperti apa ini .
Dwiyanto (2002), dalam penelitiannya tentang pelayanan publik, salah satunya menukik pada aspek etika pelayanan publik dengan menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat sebagai pemberi layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara keduanya seringkali terdapat perbedaan kepentingan-kepentingan yang mencolok. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan dengan mengambil sampel beberapa daerah di Indonesia yaitu : Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang mencolok dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam kontek etika pelayanan, masyarakat pengguna jasa mengharapkan adanya etika birokrasi sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi . Jika kondisi demikian dapat diciptakan, etika pelayanan publik sesuai dengan misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa.
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama, lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa oknum aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.
Lemahnya penerapan etika dalam pelayanan publik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
Pengawasan.
Mekanisme pengawasan yang berfungsi sebagai antisipasi terhadap adanya tindakan-tindakan penyimpangan dalam penegakan etika pelayanan di Dinas tersebut dapat dinilai belum berjalan dengan baik dalam artian pengawasannya lemah. Hal ini terjadi karena: pertama, berkaitan pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan pelaksanaannya monoton, hanya dilakukan pada saat apel, bukan pada saat jam-jam pelayanan. Dan sebaliknya saran dan kritik yang dilakukan bawahan terhadap atasan hanya ditampung saja tidak ditindak lanjuti oleh atasan; kedua, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut tidak mendapat respon dari pihak-pihak yang berkompeten dalam organisasi ini, sehingga tidak ada umpan balik dalam mengevaluasi program selanjutnya, dan pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung sebagai kekuatan bagi mekanisme chek and balances dalam proses penyelenggaraan negara menjadi sia-sia. Seperti pepatah lama ‘bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu’.
Konsitensi Aparat Birokrasi.
Aparat belum memiliki konsistensi dalam penerapan etika pelayanan publik. Dalam artian, masih lemahnya kesadaran aparat birokrasi dalam penegakkan etika pelayanan publik. Hal ini terjadi karena: pertama, ketetapan aparat dalam bertindak yang sesuai aturan dengan pelayanan secara faktual terdapat kesenjangan; kedua, masih rendahnya rasa memiliki terhadap organisasi di tempat mereka bekerja, sehingga berimplikasi kepada pekerjaan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan hati nurani.
Komunikasi
Komunikasi belum berjalan efektif karena komunikasi yang telah dilakukan oleh pihak aparat dalam mensosialisasikan aturan seperti melalui penyebaran brosur, media cetak, dan melalui penyuluhan-penyuluhan langsung ke masyarakat belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh instansi yang bersangkutan, luasnya jangkuan wilayah penyuluhan,disamping adanya sikap apatis masyarakat dalam merespon informasi yang sebenarnya diperlukan.
Pada tataran praktis terdapat lima pola pemberian pelayanan publik ,yang meliputi :
- Pelayanan publik teknis fungsional, dimana peyelenggaraan pelayan publik secara teknis berada pada fungsi masing-masing institusi atau lembaga pemerintahan.
- Pelayan puibliok satu pintu , yaitu memberikan pelayan dengan fasilitas one stop service dimana masyarakat akan dilayani secarfa terpadu dalam satu kjenis pelayanan.
- Pelayanan publik satu atap , pada dasarnya hampir sama dengan pelayanan puiblik satu pintu, perbedaanya adalah pada pelayanan publik satu atapn pelayan yang diberikan kepada masyarakat tidak terbatas hanya untuk satu jenis pelayanan saja atau lebih beragam.
- pelayanan publik terpusat ,yakni penyelenggaraan pelayanan yang dipusatkan pada satu unit instansi pemerintahan.
- pelayanan publik berbasis elektronik , yaitu pemberian pelayanan publik kepada masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi ,terutama internet.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Birokrasi publik di Indonesia belum mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang efisisen ,adil, responsif, dan akuntabel. Kinerja birokrasi publik masih sangat jauh dari yang diharapkan . Akluntabilitas birokrasi masih sangat rendah sebagaimana ditunjukan dengan diabaikannya kepentingan penghguan jasa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Norma dan kriteria pelayanan publik masih ditentukan oleh prosedur dan petunjuk pelaksanaan (juklak). Improvisasi dan diskresi untuk merespons dinamika , kebutuhan dan aspirasi pengguna jasa masih menjadi barang langka dalam kehidupan birokrasi publik ketiga daerah itu.
Situasi yang sama terjadi pada responsivitas birokrasi. Kemampuan birokrasi dalam menaggapi keluhan dari masyarakat pengguna jasa masih amat rendah. Banyaknya keluhan dari para pengguna jasa terhadap penyelenggaraan pelayanan sertifikasi tanah , IMB, perizinan dan catatan sipil amat banyak. Sayangnya , keluhan itu tidak segera ditanggapin dengan tindakan yang konkret denagn menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh para pengguna jasa .
Keseriusan pemerintah untuk menempatkan kualitas pelayanan sebagai sentyral dari prilaku birokrasi publik masih amat jauh. Para petugas pemberi layanan seringkali tidak berkonsentrasi dalam penyelenggaraan pelayanan karena mereka harus melakuakan kegiatan-kegiatan lain yang tidak terkait dengan pelayanan yang menjadi tanggung jawab. Disamping melayani masyarakat pengguna jasa para pejabat birokrasi masih harus melkuakan tugas-tugas lain ,seperti tugas lapangan yang frekuensinya sering amat tinggi.
Akibatnya , para pejabat birokrasi sering harus meniggalkan tugas pelayanan untuk melkukan tugas-tugas lainnya yang tidak relevan denagn pelayana yang sebenarnya menjadi perna utamanya. Akibatnya , banyak para pengguna jasa yang ekmudian harus menuggu para petugas , yang kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup panjang . seringnya petugas meniggalkan pelayanan, untuk mengerjakan pekerjaan lain dan membuat pelayanan menjadi tertunda menunjukan betapa birokrasi publik belum benar-benar menempatkan kepentingan penggunaan jasa menjadi bagian yangb terpenting dari kehidupannya hal ini tentu akan memlkiki implikasi yang penting terhadap kinerja biroktrasi publik.
Hak-hak para pengguna jasa dan kewajiban birokrasi publik dan p[ejabatnya sering tidak diatur dengan jelas, yang datur secara jelas dalam prosedur pelayanan biasanya hanya kewajiban para pengguna saja. Adalah wajar kalau para pejaabat birokrasi sering memperlakukan para penggyna jasa dengan acuh tak acuh ,dan bahkan menjadikan mereka sebagai objek penguuna layana yang bisa dipermainkan sesuai dengan kepenti8nganya. Ketidak seimbanagn tersebut membuat kedudukan para pengguna jasa menjadi sangat lemah ketika berhubungan dengan pejabat birokrasi.
Rendahnya gaji yang diterima oleh pejabat birokrasi dan terbatasnya sumber-sumber intensif finansial yang bisa diperolehnya secara wajar sering menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya keinginan para pejabat birokrasi untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk menambah penghasilan. Pada sisi lain , ketidakpastian pelayanan yang sanagt tinggi dan prosedur pelayana yang amat rumit dan panjang membuat Oppurtunity cost untuk mengikiti prosedur pelayanan publik yang tidak terlalau mahal.
Ukuran keberhasilan penyel;enggaraan pelayanan ditentukann tiongkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan pelayanan dica[pai apabilapenerima pelayanan memperoleh pelayanan sesuai denagnuangb dibutuhkan dan diharaopkan. Oelh karten aitu dalam kepuityusanya masyarakat keputusan MENPAN nomor 63 tahun 2004 mengamanatkan agar setiap penyelenggaraan pelayanan secara berkala melakukan survei eindeks kepuasan masyarakat. Adapun teknik mengukur kepuasan masyarakat dengan mengguynakan 14 kriteria pelayanan seperti yang telah diuraikan di atas.
Contoh kuesioner : pendapat tentang pelayanan publik.
1 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kemudahan prosedur pelayanan di unit ini? a. tidak mudah b. kurang mudah c. mudah d. sangat mudah | 1 2 3 4 |
2 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kesesuaian persayaratab pelayanan dengan jenis pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
3 | Bagaimana pendapat Bapak/ibu tentang kejelasan dan kepasria petugas yang melayani ?
| 1 2 3 4 |
4 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kedisiplinan petugas dalam memberikan pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
5 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang tanggung jawab petugas dalam memberikan pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
6 | Bagaiamana pendapat Bapak/Ibu tentang kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan?
| 1 2 3 4 |
7 | Bagaiamana pendapat Bapak/Ibu tentang kecepatan pelayanan yang diberikan oleh petugas ?
| 1 2 3 4 |
8 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang keadilan dalam mendapatkan pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
9 | Bagaiamana pendapat Bapak/Ibu tentang kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
10. | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kewajaran biaya untuk mendapatkan pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
11 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kesesuaian antara biaya yang dikeluarkan dengan biaya yang telah ditetapkan ?
| 1 2 3 4 |
12 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang ketepatan waktu pelaksanaan terhadap jadwal waktu pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
13 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kenyamanan di lingkungan kerja pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
14 | Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang keamanan pelayanan ?
| 1 2 3 4 |
MENDAGRI Berbicara Tentang Pelayanan Publik
Pada saat menjabat sebagai Bupati Solok , Gamawan Fauzi dikenal militan dalam mengubah kebiasaan dan mental buruk pegawainya . Gamawan fauzi menekankan bahwa mentalitas yang terlalu feodalisme harus dihilangkan dan menjadi penguasa jangan sewenang-wenang. Gamawan Fauzi menganggap bahwa hidup menjadi pejabat artinya adalah harus mengabdi dan melayani masyarakat.
Keberhasilan Gamawan Fauzi yang patut diapresiasi adalah program Yantupin (pelayanan Satu Pintu) yang diterapkan di Kabupaten Solok. Yantupin ini memiliki dasar hukum keputusan bupati solok nomor 112/BUP-1996 dan dimatangkan dengan keputusan Bupati Solok Nomor 254/BUP-1997. Yantupin mencakup pengurusan 25 jenis perizinan dan akta. Dalam Yantupin pemohon perizinan juga dapat mengirimkan berbagai macam datanya untuk diurus melalui pos.
Yantupin yang dicanangkan Gamawan fauzi diilhami dari kenyataan bahwa tidak jelasnya birokrasi untuk mengurus berbagai macam perizinan. Birokrasi yang tidak jelas tersebut sangat rawan disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawanb. Dengan adanya Yantupin makam orang akan dipermudah dalam menghurus izin usaha, izin praktek, peminjaman alat berat, mengurus akta, dan lain-lain sebagainya. Prestasi yang diraih Gamawan Fauzi ternyata mengantarkannya meraih penghargaan Bung Hatta Award
Mengapa Kontrak Pelayanan Diperlukan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik ?
Penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia tidak memberikan akses bagi bpengguna layanan untuk ikut terlibat dalam mengambil keputusan mengenai baagaimana praktik suatu pelayanan sebaiknya diselenggaraka agar memenuhi kebutuhan dan aspirasi pelayanan. Pengguna layanan ditempatkan sebagai pihak yang pasif yang hanya memilki pillihan untguk menggunakan atau tidak menggunakan pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara layanan sesuai dengan cara , biaya , dna prosedur yang ditentukan secara sepihak. Dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publki yang seperti ini ,perhatian terhadap kepentingan dan kebutuhan para pengguna layanan tentu saja amat rendah. Penyelenggara layanan tidakpernah secara sungguh-sungguh berusaha mengenali pengguna jasanya, memehami aspirasi pelayanan , dan kendala-kendala yang dihadapi penyelenggara pelayanan. Pengguna layanana sering diberlakukan sebagai klien yang kedudukannya sanagat lemah dihadapan penyelenggarta pelayanan. Etika pelayana tidak berkembang karena mereka cendrung menempatkan dirinya sebagai pejabat daripada sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya ,perhatian dan kepedulian terhaap kebutuhan pengguna sangat rendah.
Selain itu, survei pengguna olayanan dan dialog dengan pengguna layanan hampir tidak pernah dilakukan oleh penyelenggara layanan untuk mengetahui pelayanan yang telah diberikan atau untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan pengguna layanan. Akibatnya sering terjadi perbedaan antara aspirasi dan kebutuhan pelayanan dari masyarakat pengguna jasa dengan praktik pelyanan yang dioberikan oleh penyelenggara pelayanan. Dalam situasi konflik seperti ini biasanya pengguna layanan cenderung
Mengabaikan aspirasi dan kebutuhan pelayanan dari pengguna layanan. Mereka sering kali melakukannya tanpa merasa bersalah karena selalu menganggap bahwa penyelenggara layanan yang notebene adalah birokrasi memilkim kewenangan menentukan praktik layanan tanbpa harus memperhatikan aspirasi dan kebutuhan pengguna jasanya.
Prioritas pelayanan yang sekarang mulai bergeser dari pengguna layanan sebagai penerima menfaat dari suatu pelayanan kepada setiap warga negara sebagai costumer dalam pelayanan publik tampaknya belum dipahami oleh aparat birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan (Denhart and Denhart :2003). Iklim pelayanan publik yang seperti ini akan menjadi tepat bila diterapkan pendekatan kontrak pelayanan dalam setiap birokrasi pelayanan publik di Indonesia.
REFERENSI
Ratminko dan, Atik Ningsih Septi, 2009. “Manajemen Pelayanan” .Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Purwanto Agus Erwan ,2005. “Birokrasi Publik :dalam Sistem Politik Semi-Parlementer”.Jakarta Gava Media. halaman 79, 74, 75.
Lijan Poltak Sinambela ,dkk, 2006. “Reformasi Pelayanan Publik : Teori Kebijakan dan Implementasi”. Jakarta .Bumi Aksara. halaman 6
Dwijanto agus ,dkk, 2006. “ Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia” .Yogyakarta. Gadjah Mada University Press .
www.google.com/Posted by: rendy_sueztra, in kinerja pelayanan
Pasolong Harbani ,2007.“Teori Administrasi Publik”. Bandung. Alfabeta Bandung.
Wiguna, guntur, 2010. “ Profil Lengkap Kabinet Indonesia Bersatu”. Jakarta. Media Presindo.
Kiyosaky, Robert , T and, Lechter Sharon L, 2009. “The Cashflow Quadrant”. Jakarta. Buana Printing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar